Sumbawa Besar (Sumbawasatu.com)-
Momentum pergantian tampuk kekuasaan negara sudah di depan mata. 2023 otomatis menjelma sebagai tahun evaluasi oleh rakyat Indonesia. Karena, sebaik-baiknya kepemimpinan pasti memerlukan koreksi. Bagian ini termasuk mengenai kewenangan kekuasaan pada ranah pendidikan. Mengingat selain inovasi dan prestasi, Kemdikbud Ristek RI juga kerap berada pada kontroversi.
Presiden Joko Widodo sebelumnya telah memilih Nadiem A Makarim untuk menangani persoalan tersebut. Sebagai Menteri Pendidikan Indonesia, Nadiem menjadi representasi pikiran pemuda di lingkungan birokrasi. Ia bertugas menemukan cara ternyaman dan terefektif bagi rakyat untuk mengenyam pendidikan.
Pada 2020 silam Nadiem datang dengan gagasan Merdeka Belajar. Ada 4 poin dalam program ini yang menjadi konsentrasi Pemerintah. Poin itu meliputi perubahan pada Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) dan Ujian Nasional. Ada juga tentang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
1. Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) menjadi Ujian Asesmen
USBN sebagai penentu kelulusan dipandang bertentangan dengan UU Sisdiknas. Menurut Nadiem, banyak aspek yang dapat dijadikan penilaian terhadap kompetensi siswa sebagai syarat kelulusan. Karenanya ia memindahkan hak penentu kelulusan pada sekolah sebagaimana tuntunan UU melalui asesmen.
Kebijakan ini sangat disenangi sebagian besar murid dan wali murid. Pasalnya mereka tidak lagi tertekan dengan standar kelulusan yang kaku. Namun demikian, sebagian orang bahkan dari kalangan guru meragukan kompetensinya sendiri dalam menyusun asesmen. Beruntungnya dalam tiga tahun terakhir peningkatan kompetensi guru terus digalakkan. Namun ada sedikit celah yang bisa dikatakan luput. Karena kelulusan ditentukan oleh sekolah, maka potensi ketidakseriusan belajar pada siswa juga cenderung tinggi. Potensi kecurangan dalam memberikan penilaian juga sangat mungkin terjadi.
2. Ujian Nasional (UN) berubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter
2021 menjadi UN yang terakhir diselenggarakan. UN digantikan dengan alasan terlalu fokus pada aspek kognitif dan kurang konsen pada karakter siswa. UN cenderung perhatian pada penguasaan konten namun abai pada kompetensi penalaran. Keberadaan AKM dan Survei Karakter kemudian menjadi kebalikan dari UN.
AKM dan Survei Karakter dilakukan di tengah jenjang sekolah. Ini sekaligus dimaksudkan agar hasil asesmen dan survei ini tidak dapat menjadi tolok ukur seleksi siswa ke jenjang berikutnya. Namun kebijakan ini dipandang sama saja dengan Ujian Nasional oleh sebagian orang. Asesmen dan UN hanya dibedakan berdasarkan waktunya saja.
3. Perubahan terhadap Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Mendikbud menilai format RPP yang telah ada sangatlah kaku. Sehingga diubahlah format tersebut menjadi lebih fleksibel untuk dapat dikembangkan. Komponen RPP sebelumnya memaksa untuk menulis dengan sangat rinci sehingga lembarannya mencapai 20 halaman. Konsep ini diubah dengan hanya meletakkan komponen inti saja. Dengan demikian RPP hanya termuat dalam satu lembar kertas.
Dengan demikian akan ada banyak waktu yang dapat dimanfaatkan untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran. Sejauh ini, mungkin sebagian orang bisa bersepakat dengan pikiran untuk efisiensi. Tapi jika berbicara hajat pengembangan yang diniatkan sebelumnya, bisa jadi pola ini juga bertentangan dengan efisiensi yang diharapkan.
4. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi
Pada awal dimulainya zonasi, sebagian masyarakat tampak kesal. Faktanya sekolah tidak memiliki kualitas dan relasi yang sama untuk menunjang pendidikan. Persoalan ini termasuk tentang kompetensi guru dan fasilitas yang dimiliki sekolah. Sehingga tidak heran dimunculkan istilah Sekolah Favorit. Istilah itu kemudian menjadi acuan wali murid untuk menentukan masa depan belajar anak mereka.
Singkatnya, persoalan ini berkaitan erat dengan keharusan pemerintah pusat maupun daerah untuk menyamakan perhatian terhadap sekolah-sekolah.
Secara konseptual, Merdeka Belajar yang ditawarkan Mendikbud sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan siswa dan guru. Hanya saja beberapa bagian membutuhkan pengawasan yang ketat. Sehingga kebebasan atau fleksibilitas yang dimaksud dipastikan berbuah inovasi dan bukan penurunan kualitas.
Intensitas komunikasi antara Pemerintah dan guru perlu ditingkatkan. Dengan demikian sedikit kemungkinan adanya penerjemahan yang salah atas kebijakan. Meski begitu, setiap rongga yang kosong mestinya telah mampu ditutupi berbagai kebijakan lainnya yang telah direalisasikan.
Penulis: Galan Rezki Waskita (Pegiat Media NTB)