Home / Opini

Minggu, 17 Maret 2024 - 09:10 WIB

RAMADHAN DAN PEMILU; UPAYA MELIBERASI DAN MENTRANSENDENSI DIRI

OLEH : UBAIDULLAH – KOMISIONER BAWASLU KABUPATEN SUMBAWA

“Hai orang-orang yang beriman diwajibakan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibakan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertqwa ” (Q.S. Al-Baqarah : 183).

Waktu demi waktu melaju begitu cepat, sebelas bulan berlalu begitu singkat, kini saatnya kita berada dalam bulan mulia nan agung yaitu bulan suci ramadhan. Bulan yang di dalamnya bertaburkan nikmat, rahmat, maunah, dan magfirahNya, sehingga sebagai seorang hamba harus mempu menjuktaposisi diri menjadi hamba yang rindu bersua dengan diriNya.

Penulis mencoba menjelaskan dua padangan dari Syaikh Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Syaikh Abdul Wahhab Sayyed Hawwas dalam buku Al-Wasith fil Fiqhi Al-‘Ibadat mengemukakan arti ‘ramadan’ menurut bahasa berasal dari kata ‘ar-ramadh’ yakni batu yang panas kerena teriknya matahari. Ibnu Duraid menambahkan, “Ketika orang-orang mengadopsi nama-nama bulan dari bahasa kuno secara sima’i dengan zaman (masa) yang ada dalam bulan itu, maka bulan Ramadan bertepatan dengan masa panas terik, lalu dinamakanlah dengan ‘ramadan’,”

Ada pula ulama yang berpendapat ‘ramadan’ diambil dari kata ‘ramadhash shaa-im’ artinya panasnya orang yang puasa, maksudnya ketika tenggorokannya panas lantaran sangat haus. Juga ada yang berpandangan bahwa bulan Ramadan dinamakan demikian sebab ia membakar dosa-dosa manusia. Ibnul Jauzi dalam bukunya Bustanul Wa’izhin, turut menjelaskan makna ‘ramadan’ yang dinukil dari pandangan ulama lain, “Ramadan disebut demikian, karena ia bulan penyucian tubuh dan penyucian hati. Kata ini diambil dari kata ‘ramadh’ artinya hujan yang datang sebelum musim gugur.”

Selain itu, ada yang mengatakan, “Kata ‘ramadha’ satu makna dengan kata ‘rafadha’, termasuk ke dalam dua kata yang hurufnya sama-sama saling berdekatan, maknanya adalah menolak. Di bulan itu, satu kaum ada yang menolak untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya, ada pula kaum lainnya yang menolak untuk menuju tempat yang dimurkai Allah.”

Masih dari buku Bustanul Wa’izhin, terdapat sejumlah nama lain bagi bulan Ramadan, yaitu; syahr al-iiqaan (bulan keyakinan), syahr al-Qur`aan (bulan turunnya al-Qur’an), syahr al-ihsaan (bulan kebaikan), syahr ar-ridhwan (bulan keridhaan), syahr al-ghufraan (bulan ampunan), syahr ighaatsat al-lahfaan (bulan pertolongan untuk yang membutuhkan), syahr at-tausi’ah ‘ala ad-dhaifaan (bulan menghormati tamu), syahr tuftah fiihi abwaab al-Jannah (bulan dibukakan pintu surga), bulan dibelenggunya setan, serta syahr al- amaan wa adh-Dhiman (bulan keamanan dan jaminan).

Disebutkan pula nama-nama bulan Ramadan yang diambil dari sejumlah hadits Nabi SAW, seperti; bulan Al-Qur’an (syahrul qur’aan), bulan puasa (syahrush shiyaam), bulan sholat malam (syahrul qiyaam), bulan doa, bulan rahmat, bulan ampunan, bulan sabar, bulan sedekah, bulan rezeki, bulan kedermawanan (syahrul muwaasah), bulan jihad, bulan keberkahan (syahrul barakah), bulan masjid, tuannya bulan-bulan (sayyidusy syuhuur), bulan ibadah, dan bulan kebaikan (syahrul khair).

Nama-nama yang di sematkan pada bulan mulia ini, bertanda bahwa ada kekhususan dan keistimewaan tersendiri yang bila dibandingkan dengan bulan-bulan lain. Nama yang penuh makna ini, menjadi indicator bagi kita umat muslim untuk terus berjibaku untuk mendapatkan pundi-pundi amal sebagai penghapus dosa-dosa yang kita. Jelas sekali bahwa puasa adalah sebuah kewajiban yang harus kita lakukan.

Ketika kata atau frasa wajib itu diletakkan dalam ayat qur’an itu, maka konsekuesi loginya adalah kita berdosa bila tidak mengerjakannya. Ramadhan membuka ruangan kepada kita untuk terus berfatabiqul khairat atau berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan.

BACA JUGA  PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI PENYEMBUH KEMISKINAN

Pasca hari pemungutan dan perhitungan suara pada tanggal empat belas (14) Februari lalu perlu kiranya kita melakukan liberasi dan trandensi diri, terutama di bulan mulia ini, karena mungkin begitu banyak diantara kita yang telah melakukan berbagai hal yang telah dilarang oleh UU khususnya UU 7 tahun 2017 tentang pemilu.

Salah satu hal yang dilarang adalah sebagaimana termaktub dalam UU Pemilu terkait dengan larangan melakukan money politik atau politik uang dan/atau membeli suara. Hal tertuang pada Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286 ayat (1), 515 dan 523 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sebagai konsekuensi hukumnya adalah sesuai dengan Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta”.

Selain politik uang, dalam UU 7 tahun 2017 juga melarang kita untuk menyebar berita bohong, menghina suku, agama, ras, antargolongan (SARA) peserta lain. Lalu, menghasut, mengadu domba, dan mengganggu ketertiban umum dan mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat dan lain sebagaianya.

Hal-hal yang dilarang dalam konstitusi tersebut ternyata lebih dahulu Allah Swt dan nabi melarang perbuatan-perbuatan tersebut sebagaimana yang dinukilkan dalam kitab suciNya dan sunnah nabiNya. Seperti politik uang atau suap menyuap dalam perspektif Islam hukumnya adalah haram. karena praktik tersebut termasuk dalam kategori risywah, yaitu pemberian sesuatu kepada seseorang dengan tujuan agar orang tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam Al-Baqarah [2] ayat 188, Allah berfirman terkait larangan memakan harta dengan cara yang haram. Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Dalam Tafsir Al-Misbah Qurais Syihab menjelaskan salah satu yang terlarang, dan sering dilakukan dalam masyarakat, adalah menyuap atau menyogok. Penyogok menurunkan keinginannya kepada yang berwewenang memutuskan sesuatu, tetapi secara sembunyi-sembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak sah.  Allah melarang praktik menyogok ini, karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan kejujuran. Tindakan suap dapat menyebabkan orang yang berwenang mengambil keputusan yang tidak adil dan tidak jujur, karena mereka telah dipengaruhi oleh suap yang diterimanya.

Hal ini dapat merugikan pihak lain yang seharusnya mendapatkan haknya. Begitupun dalam hadits, Nabi Muhammad bersabda bahwa Allah telah melaknat penyuap dan penerima suap. Laknat adalah kutukan dari Allah swt, yang berarti pelakunya akan mendapatkan siksa dan murka dari Allah swt. “Dari Abdullah bin Amr, ia berkata bahwa Rasulullah saw melaknat orang yang melakukan penyuapan dan yang menerima suap.”  [HR Tirmidzi dan Abu Dawud].

Selain politik uang, Islam juga melarang kita untuk saling memfitnah, menghasut, menjelekkan orang lain, menebarkan permusuhan dan perpecahan yang bisa membuat disharmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini juga termaktub dalam Alquran yang artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (QS. Al-hujurat : 12)”.

BACA JUGA  PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER DI KALANGAN MAHASISWA

Ayat di atas menjelaskan dengan tegas dan lugas bahwa perbuatan memfitnah, menghasut, menjelekkan orang lain, menebarkan permusuhan dan perpecahan. Karena perbuatan ini menajdi pintu masuk terjadinya disintegrasi dan disharmonisasi dalam masyarakat. Itulah kenapa kemudian Islam telah mengatur tata laksana kehidupannya dari yang terkencil sampai yang terbesar. Semua hal terebut juga memiliki konsekuensi hokum baik hokum formal dan hokum syarinya.

Meliberasi dan Mentransendensi Diri
Pembaca yang budiman, momentum ramadhan adalah saat yang paling tepat kita melakukan proses liberasi dan transendensi diri menajdi lebih lebih baik dari sebelumnya. Untuk mencapai pribadi yang muttaqin, tentu kita harus mampu memkasimalkan seluruh ibadah dibulan mulia ini dengan baik. Melalui proses liberasi diri yaitu mencegah, membebaskan, dan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa yang bisa menggerus nilai-nilai ibadah kita di bulan suci ramadhan ini. Frasa liberasi merupakan derivasi makna dari kata nahi mungkar yaitu mencega diri dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. Perbutan dan perilaku yang amoral dan nil akhlaq, karena perbuatan ini selain islam melarangnya dalam UU juga melarangnya.

Dalam konteks ini, Sani (2011: 52) menjelaskan bahwa liberasi memiliki arti pembebasan terhadap segala bentuk determinasi kultural dan struktural seperti kemiskina, kebodohan, ketertinggalan, keterbelakangan. Liberasi dalam konteks ini menjadikan agama sebagai nilai-nilai transendental, sehingga agama menjadi ilmu yang objektif dan faktual. Liberasi tidak hanya dalam koteks tataran moralitas tetapi dilakukan secara kongkret dalam realitas kemanusiaan. Sejalan dengan proses liberasi diri tersebut, tentu kita harus mampu mengoptimalkan dan memaksimalkan proses transendensi diri kita selama dan sesudah bulan Ramdhan.

Istilah transendensi adalah arti dari kata tu’minuna billah yang secara etimolgis berarti kita kembali beriman dan bertqwa kappa Allah Azza Wajjala. Yang menjadi ciri dari proses transendensi ini adalah istiqomah dalam beribadah, selalu bersyukur, tawadduh (rendah hati), dan taat dalam melaksankan ibadah (sholat, puasa, sodaqoh dan lain-lain).

Sebagai kongklusi atau istinbatnya dari tulisan singkat ini adalah melakukan proses pencegahan diri dari seluruh rangkaian kegiatan atau aktivitas dalam hidup kita yang sifatnya destrukti itu sangat penting. Karena mencegah untuk melakukan hal-hal buruk itu lebih baik dari pada kita merekoginisi diri menjadi lebih baik.

Ramadhan ini adalah saat yang tepat kita kembali meneguhkan dan memupuk giroh ibadah kita dengan meningkatkan volume dan frekuensi ibadah kita, baik ibadah yang bersifat ritual transendental maupun ibadah-ibadah sunnah lainnya. Jelas di dalam hadis nabi yang artinya “barang siapa yang berpuasa di bulan suci ramadhan karena Iman dan mengharap pahala dari Allah Swt, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.(HR. Bukhori Muslim)”. Orang – orang yang beribadah(menghidupkan) bulan ramadhan, maka dosa-dosanya diampuni oleh Allah swt. Wallahualam.

Share :

Baca Juga

Opini

PISAU BERMATA DUA PENGUBAH PENDIDIKAN

Opini

Pentingnya Peran Orang Tua dalam Membentuk Karakter Anak

Opini

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER DI KALANGAN MAHASISWA

Opini

PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI PENYEMBUH KEMISKINAN
error: Content is protected !!