Sumbawa Besar (Sumbawasatu.com)–
Melihat kondisi SDN Tanjung Bila, Desa Labuhan Kuris, Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa, sangat jauh berbeda dari sekolah-sekolah lainnya. Selain kumuh, beberapa bagian bangunan sekolah mengalami kerusakan. Apalagi ketika berbicara fasilitas pendukung. Semua serba kekurangan.
Tak hanya fasilitas, total murid yang ada, tak sampai 20 orang. Dan setiap kelas mulai dari kelas 1 hingga kelas 6, memiliki siswa tak sampai 5 orang. Saat Sekretaris Dewan Pendidikan Kabupaten Sumbawa, Zainuddin SE., SH bersama beberapa wartawan berkunjung ke sekolah tersebut, Selasa (30 Juli 2024) lalu, kondisi ini tampak terlihat.
Gerbang sekolah mengalami kerusakan. Agar tidak roboh, gerbang besi ini diikat menggunakan tali nilon. Sekolah ini hanya memiliki pagar tembok bagian depan, itupun sudah mengalami kerusakan. Retak-retak sudah terlihat, bahkan sebagiannya nyaris roboh.
Sedangkan bagian samping kiri dan kanan serta belakang sekolah, hanya menggunakan pagar kayu dengan kondisi jarang dan tidak rapat, sehingga mudah dimasuki hewan ternak.
Sekolah ini hanya memiliki satu local yang dibagi dalam 4 ruangan. Untuk ruang kerja kepala sekolah, ruang guru, kelas 3 dan kelas 4 berada dalam satu ruangan. Agar tidak mengganggu proses belajar mengajar kelas 3 dan kelas 4 ini, dipasang sekat dengan ruang kepala sekolah dan guru.
Kemudian kelas 1 dan 2 disatukan, serta kelas 5 dan 6 juga berada dalam satu ruangan. Sekolah ini tidak memiliki gedung perpustakaan, rumah dinas dan mushollah. Tampak buku bacaan berserakan di ruang kelas 5 dan 6.
“Kami tidak punya perpustakaan, sehingga kami menggunakan ruangan kelas 5 dan 6 untuk menempatkan buku-buku bacaan yang cukup banyak,” kata Joko Samudro S.Pd, Wali Kelas 6.
Joko juga mengaku sekolahnya tidak memiliki mushollah apalagi rumah dinas. Sehingga guru SDN Tanjung Bila yang sebagian besar tinggal di luar desa, harus bolak-balik dari rumah ke sekolah. Termasuk Joko dan istrinya, Ernawati (Wali Kelas 4) yang harus pulang pergi setiap hari dari Kota Sumbawa ke Tanjung Bila.
“Biasanya kami terlambat ke sekolah, karena dihadang air laut yang pasang menutup badan jalan dan pemukiman warga Tanjung Bila. Jadi guru-guru harus menunggu air surut baru bisa melanjutkan perjalanan,” akunya.
Sekolahnya juga kesulitan mendapatkan air bersih dan internet. Untuk air bersih mereka terpaksa membeli air isi ulang yang datang setiap 2 kali seminggu. Jika tidak membeli, mereka bersama warga berjalan kaki atau menggunakan kendaraan roda dua menuju sumber mata air yang berjarak sekitar 1 kilometer.
“Kalau listrik sudah normal dan menyala 24 jam,” akunya.
Demikian dengan pagar sekolah. Karena kondisi pagar yang terbuat dari kayu, sangat mudah dimasuki hewan ternak.
“Setiap pagi kami membersihkan halaman dan teras kelas dari kotoran hewan. Sebab ketika kami pulang sekolah, hewan ternak masuk. Ibarat kami dan hewan ternak ganti shif,” ujarnya.
Aini Rosmana Wali Kelas 1 yang mewakili Kepala Sekolah, Sahabuddin Sudin S.Pd yang kebetulan tugas dinas ke luar daerah, mengakui jumlah siswa di SDN Tanjung Bila, sangat minim.
Minimnya siswa ini bukan karena kurang peminat, melainkan kurangnya potensi siswa. Jumlah murid dari kelas 1 sampai kelas 6, hanya 15 orang. Untuk kelas kelas 6 ada 3 orang. Kelas 5, kelas 4 dan kelas 3 masing-masing 2 orang.
Kemudian kelas 2 sebanyak 4 dan kelas 1 ada 2 orang siswa. Sedangkan jumlah guru hampir sama banyak dengan jumlah siswa. “Di sini ada 10 orang guru terdiri dari 3 guru PNS termasuk kepala sekolah, 5 PPPK, dan 2 orang guru honor,” sebutnya.
Kendati demikian, lanjut Aini, minimnya jumlah siswa dan kondisi sekolah yang tidak representatif ini, tidak menyurutkan semangat mereka untuk mengajar dan membimbing anak didik agar bisa menjadi generasi emas di masa mendatang.
Namun Ia tetap berharap perhatian pemerintah bagi kemajuan sekolah tersebut dengan memenuhi fasilitas maupun hal yang masih mengalami kekurangan sehingga bisa sejajar dengan sekolah-sekolah lainnya.
Sekretaris Dewan Pendidikan Kabupaten Sumbawa (DPKS), Zainuddin SE., SH, mengaku prihatin melihat kondisi yang ada. Ia bersama DPKS akan menyampaikan persoalan ini ke dinas terkait untuk mendapat perhatian.
“Apapun itu, pemerataan pembangunan adalah kewajiban pemerintah termasuk hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang baik dengan fasilitas yang memadai. Apalagi 20 persen dari anggaran APBD wajib dialokasikan untuk pelayanan dasar salah satunya pendidikan,” pungkasnya.(ind/r/*)