Sumbawa Besar (Sumbawasatu.com)-
Tim Akademisi dari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI), Bandung , Jawa Barat melakukan kunjungan ke Desa Poto, Kecamatan Moyo Hilir dalam rangka mempelajari seni bela diri ’Gentao’, pada Selasa, 6 Agustus 2024.
Tim yang dipimpin Prof. Dr. Sri Rustiyanti S.Sen.,M.Sn menyatakan tertarik mempelajari keragaman seni budaya nusantara termasuk seni bela diri Gentao yang merupakan olah raga tradisional masyarakat Sumbawa.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Sri yang juga ketua Senat Fakultas Budaya dan Media, ISBI, melakukan wawancara dengan nara sumber praktisi tentang sejarah, makna dan filosofi gerakan Gentao. Salah seorang nara sumber yang diwawancarai adalah Ibrahim HMZ, seorang praktisi sekaligus pimpinan Sanggar Kesenian Matano di Desa Poto.
Selain menjelaskan gerakan-gerakan Gentao, di depan tim Ibrahim juga memperagakan bagaimana teknik ber-Gantao dengan tiga jenis gerakan yakni, gerakan Rorang Oras, gerakan Macan dan gerakan Oram Penyapu. Gerakan gerakan ini adalah gerakan khas versi Anosiup (Sumbawa Bagian Timur).
Kepala Desa Poto, Fathul Muin, S.P., mengungkapkan Desa Poto sebagai Desa Pemajuan Kebudayaan memiliki sepuluh obyek pemajuan kebudayaan sebagaimana dalam ditetapkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yakni Tradisi lisan, Manuskrip, Adat istiadat, Ritus, Pengetahuan tradisional, Teknologi tradisional, Seni, Bahasa, Permainan rakyat dan Olahraga tradisional.
Gentao yang merupakan olah raga tradisional, diakui Fathul, telah mengalami degradasi dengan semakin kurangnya peminat. Namun demikian, regenerasi pemain Gentao di Poto tetap berlangsung.
”Sebetulnya tidak pernah putus, cuma peminatnya mulai berkurang. Melalui Sanggar Seni Matano, kami terus mengawal agar proses regenerasi seni bela diri ini tetap berlangsung,” katanya.
Ketua Sanggar Seni Matano, Ibrahim HMZ, mengaku telah mengajarkan puluhan generasi Z bermain Gentao, Ratib, Sakeco dan kesenian tradisional lainnya. Hasil karya mereka, sebut Ibrahim, sering dipertunjukkan pada acara-acara pemerintah Desa dan juga kegiatan adat dan budaya di masyarakat.
“Selain anggota Sanggar Seni anak-anak ini juga menjadi santri (kotap ngaji) saya,” jelas Ibrahim.(ind/r)